Saturday 16 June 2012

Melawan Penderitaan

Akhir-akhir ini pemberitaan media tentang darurat militer di Aceh mulai surut. Headline media massa sudah sangat jarang diwarnai informasi perkembangan operasi darurat militer di Aceh. Tampaknya isu Aceh tidak lagi semenarik seperti sembilan bulan lalu, ketika ribuan tentara gencar menelusuri Aceh untuk mencari anggota GAM, yang berbuntut terjadi pertempuran dimana-mana, korban berjatuhan, ribuan penduduk mengungsi, serta ratusan gedung sekolah dibakar. TNI sendiri sampai dengan awal November 2003 mengklaim telah berhasil melumpuhkan 2.081 anggota GAM, 982di antaranya tewas.

Di lain kasus, pengekangan dan pembatasan ruang gerak media massa masih berlangsung. Sejumlah peraturan terhadap wartawan yang meliput di Aceh masih diberlakukan. Dan, dimanapun tempatnya, ketika pers tidak mendapatkan keleluasaan melakukan kerja jurnalistik, sementara wartawan dihantui teror, maka disitu banyak kejadian yang terpendam, informasi yang diputarbalikkan. Akibatnya, kebenaran tidak dapat terungkap. Penderitaan rakyat terpendam oleh informasi-informasi resmi yang dikeluarkan penguasa atau militer tentang keberhasilan operasi.

Sampai di sini sempurna sudah Aceh sebagai cerita rakyat Indonesia yang bergelut dengan pemberontakan dan derita panjang operasi militer, justeru ketika Indonesia telah merdeka. Penderitaan itu tampaknya akan terus berlanjut karena enam bulan pemberlakukan Darurat Militer dirasakan belum cukup oleh pemerintah. Melalui rapat kabinet, 6 November 2003, pemerintah resmi memutuskan memperpanjang status Darurat Militer di Aceh sampai enam bulan lagi.

Di semangati “perlawanan” terhadap penderitaan rakyat Aceh itulah buku humor ini terbit. Tri Agus S. Siswowiharjo, akrab dipanggil Tass, sebagai editornya mengaku keberadaan buku semacam ini penting sebagai upaya menuntut penghentian kekerasan di Aceh disaat pers dibungkam serta upaya-upaya lain yang telah dilakukan tidak mendapat hasil memuaskan. Niat yang tentu saja harus diapresiasi.

Kenapa humor menjadi pilihan? Karena, ia diyakini dapat mewakili realitas Aceh secara lebih terbuka, dengan kata yang singkat, sederhana, mudah dicerna, serta tentu saja lucu namun tidak menghilangkan keseriusannya. Ditambah lagi, seperti kata mantan redaksi majalah humor, Darminto M Sudarmo, ketika menjadi pembicara dalam peluncuran buku ini, humor saat ini tidak lagi diartikan eskapistik (bernilai pelarian) melainkan kritik sosial. Penguasa dapat saja melarang wartawan meliput, mencegah LSM bekerja di Aceh, dan meneror rakyat Aceh yang berani “berbicara”, tetapi penguasa tidak dapat melarang humor. Humor menjadi bahasa yang lebih utuh menggambarkan realitas. Yang tersembunyi atau disembunyikan bisa diungkap oleh humor tanpa harus berisiko ada penangkapan atau teror. Maka, ketika humor itu berhasil dikumpulkan dari cerita-cerita penderitaan, ia akan begitu jelas bermakna kritik sosial, perlawanan, serta pengharapan.

Geer Aceh Merdeka (GAM) atawa Mati Ketawa Cara Aceh merupakan buku kumpulan humor yang dipungut dari orang Aceh yang tinggal di Aceh maupun di luar Aceh. Sebagian juga diambil dari berbagai diskusi tentang Aceh serta pengalaman sejumlah wartawan yang pernah meliput di Aceh selama pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) dan Darurat Militer.

Tri Agus membagi buku ini dalam tiga bagian. Bagian pertama yang diberi judul “Aceh Dot: Kisah Polem dan Maneh” lebih banyak menyajikan humor-humor tentang kehidupan sehari-hari rakyat Aceh. Di sini kita akan menemukan banyak humor yang tidak langsung berhubungan dengan operasi militer. Polem dan Maneh menjadi pemeran utamanya. Ada humor tentang ketidakberdayaan dan “kegilaan” orang Aceh, contoh: “Polem selalu merasa tidak nyaman kalau harus datang ke pernikahan keluarga. Biasanya, saudaranya akan datang sambil menepuk-nepuk pundak, “Kamu berikutnya kan?” kata mereka. Kebiasaan ini berhenti setelah Polem melakukan hal yang sama pada mereka di setiap acara pemakaman keluarga.”

Bagian kedua berisikan humor-humor tentang wartawan di Aceh. “Aceh Tapi Nyata: Embedded Journalist Embelgedes” yang menjadi judul besarnya menyiratkan berbagai realitas kehidupan di Aceh yang berhubungan dengan wartawan. Dalam bab inilah kita akan mendapati fakta yang hadir lewat humor. Fakta tentang bagaimana wartawan diperlakukan dan meliput di Aceh. Juga fakta tentang derita rakyat Aceh yang “tidak kuasa” ditulis menjadi berita, tapi hanya bisa diungkap dengan humor.

Sementara, humor-humor yang bercerita tentang GAM dan TNI serta operasi darurat militer banyak dijumpai di bab terakhir. Salah satu humor yang menarik berjudul Dilarang ngomong GAM: “Beberapa Kepala Sekolah SD dan SMP yang gedungnya dibakar orang tak dikenal diganti anggota TNI/Polri. Di sebuah SD pinggiran Banda Aceh Kepala Sekolah baru melarang penggunaan istilah GAM. Seorang murid yang simpati terhadap GAM pada pelajaran Bahasa Indonesia mendapat giliran membuat kalimat. Beginilah kalimatnya. “Sangatlah GAMpang membuat GAMbar dengan GAMping sambil mendengarkan irama GAMbus di stasiun GAMbir. Tapi, tiba-tiba datang seorang berseraGAM dan berpiaGAM TNI. Aduh! Saya diGAMpar!”

Editor yang bukan orang Aceh dan bukan pula korban operasi militer memang dapat dianggap sebagai kekurangan dari buku ini. Karena, bisa dibayangkan bila editor adalah korban maka humor-humor yang dikumpulkan akan lebih dalam mengungkap Aceh serta lebih kental nilai perlawanannya. Dengan begitu sempurna sudah buku humor semacam ini dijadikan sebagai pemberontakan terhadap penindasan rakyat Aceh. Namun, harus diakui, kemampuan editor untuk mengumpulkan humor dari berbagai sumber dengan beragam tema telah mampu menutupi kekurangan tersebut.

Pada akhirnya, kesempurnaan buku ini juga akan ditentukan oleh kemampuan pembaca meresapi penderitaan rakyat Aceh. Sebab, jika penderitaan itu gagal diresapi, maka pembaca hanya akan menemukan sekumpulan humor pemuas nafsu tertawa, tidak lebih.(Samsuri)

Sumber
http://samsuri.blogspot.com/2009/01/melawan-penderitaan-dengan-humor.html

No comments:

Post a Comment