Saturday 16 June 2012

Aplikasi Perkuliahan Dengan Cara Soft Skill


Soft Skill dan Implementasinya
Pada kesempatan kali ini saya akan membahas mengenai soft skil. Soft Skills sendiri sudah diterapkan dalam perkuliahan dengan tujuan untuk mengembangkan kecerdasan emosionalnya. Selain itu dengan mata kuliah Soft Skills, dosen dapat memantau perkembangan kepribadian, empati, keterampilan, dan ke aktifan mahasiswa. Karena dalam kenyataannya untuk masuk dalam dunia kerja, kita tidak hanya dilihat dari kemampuan Hard Skillsnya saja,tetapi juga dilihat dari kemampuan Soft Skillsnya seperti psikotest,wawancara,dll. Untuk penjelasan lebih dalamnya, Saya akan sedikit menguraikan pengertian, peranan dan kebutuhan Soft Skills dalam dunia kerja.
1. Pengertian Soft Skills
Konsep tentang soft skill sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep yang selama ini dikenal dengan istilah kecerdasan emosional (emotional intelligence). Soft skill sendiri diartikan sebagai kemampuan diluar kemampuan teknis dan akademis, yang lebih mengutamakan kemampuan intra dan interpersonal.

Wikipedia menuliskan pengertian Soft Skill sebagai berikut:
Soft skills is a sociological term which refers to the cluster of personality traits, social graces, facility with language, personal habits, friendliness, and optimism that mark people to varying degrees. Soft skills complement hard skills, which are the technical requirements of a job.

2. Peranan dari Soft Skills


Secara garis besar soft skill bisa digolongkan ke dalam dua kategori : intrapersonal dan interpersonal skill. Intrapersonal skill mencakup : self awareness (self confident, self assessment, trait & preference, emotional awareness) dan self skill ( improvement, self control, trust, worthiness, time/source management, proactivity, conscience). Sedangkan interpersonal skill mencakup social awareness (political awareness, developing others, leveraging diversity, service orientation, empathy dan social skill (leadership,influence, communication, conflict management, cooperation, team work, synergy)

3. Kebutuhan Soft Skill Di Dunia Kerja


Di dalam persaingan seperti sekarang, kebutuhan akan tenaga kerja yang memiliki profesionalisme dan manajerial skill yang berbasis kemampuan sudah merupakan tuntutan. Terlebih di dunia kerja sekarang banyak dipengaruhi perubahan pasar, ekonomi dan teknologi. Tenaga kerja yang memiliki kecerdasan emosional (Emotional Quatient) sangat mendukung pemenuhan kebutuhan tersebut disamping kecerdasan intelektual. Berdasar hasil survey Nasional Assosiation of Colleges and Employers USA (2002) terhadap 457 pimpinan perusahaan menyatakan bahwa Indeks Kumulatif Prestasi (IPK) bukanlah hal yang dianggap penting dalam dunia kerja.
Kemampuan softskill diatas, sebetulnya masuk dalam kecerdasan emosional yang menurut definisi adalah Kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, Kemampuan memotivasi diri, Kemampuan mengendalikan diri/ mengelola emosi pada diri sendiri dalam hubungan dengan orang lain (Daniel Goleman). Ada lima kecedasan emosial yang dibutuhkan didunia kerja sekarang ini, yaitu :


1. Kesadaran Emosional , yang meliputi kedewasaan emosi dalam pengambilan keputusan yang win-win solution.
2. Pengelolaan Emosional (pengedalian diri) yang meliputi kemampuan kepekaan, sabar dan tabah dalam menjalankan tugas.
3. Motiovasi Diri, yang meliputi kemampuan berpikir positif, ulet dan pantang menyerah
4. Empati pada Sesama ; yang meliputi kemampuan memahami, merasakan, peduli, hangat, akrab dan kekeluargaan
5. Ketrampilan Sosial , yang meliputi kemampuan bermusyawarah, bekerjasama, kepentingan umum/tim)

            Di sisi lain secara teori, di dalam dunia kerja, ada 3 (tiga) unsur utama yang harus dipenuhi agar seseorang dikatakan memiliki kompetensi yang meliputi kompetensi knowledge atau cognitive domain, skill atau psychomotor domain, serta attitude atau affective domain.(Jayagopan Ramasamy, Malaysia 2006). Dalam teori tersebut dikatakan bahwa kompetensi tersebut harus bisa diukur (measurable), dinilai, ditunjukkan (demonstrable) dan diamati (observable) melalui perilaku pada saat melaksanakan tugas. Sasaran akhir dari kompetensi adalah perilaku yang diharapkan (desired behaviour) dan perlu ditunjukkan dalam melaksanakan tugas. kompetensi yang berkaitan langsung dengan bidang kerja.

            Contohnya Pada proses rekrutasi karyawan, kompetensi teknis dan akademis (hard skill) lebih mudah diseleksi. Kompetensi ini dapat langsung dilihat pada daftar riwayat hidup, pengalaman kerja, indeks prestasi dan ketrampilan yang dikuasai. Sedangkan untuk soft skill biasanya dievaluasi oleh psikolog melalui psikotes dan wawancara mendalam. Interpretasi hasil psikotes, meskipun tidak dijamin 100% benar namun sangat membantu perusahaan dalam menempatkan ‘the right person in the right place’.

            Disini kesimpulan yang saya ambil adalah, kemampuan kita dalam berfikir logis, mendalami pengetahuan, dan mendapatkan nilai prestasi dilakukan oleh otak kiri yang berupa Hard Skills, sedangkan untuk kemampuan berkreatifitas,berorganisasi,dan melakukan keterampilan lainnya dilakukan oleh otak kanan yang berupa Soft Skills. 


Cara Mengupload Tugas dan Tulisan serta sebagai pengantar:
1. Mahasiswa mencari bahan atau materi dari setiap tugas yang diberikan oleh dosen masing masing. Bahan dapat diambil melali internet , buku atau sumber lainnya yang dapat mendukung dalam pengerjaan tugas softskill tersebut.

2. Mahasiswa wajib menuliskan tugas nya tersebut di blog masing masing yang telah terdaftar di StudentSite.


3. Lalu tugas yang telah di post di blog masing masing wajib di upload ke StudentSite Gunadarma yaitu di alamat  (http://studentsite.gunadarma.ac.id), login dengan username&password masing masing, lalu buka menu "tugas (UG PortoFolio)" pada combobox lalu masukkan title tugas, alamat web/blog tusgas tersebut, dan nama mata kuiahnya. lalu klik "Submit", maka tugas akan bisa terlihat&dinilai oleh dosen masing masing.


SUMBER :
http://nazuardi.blogspot.com/
 

Manusia dan Penderitaan


Pengertian Penderitaan
Ngomongin penderitaan berarti kita harus tau arti kata terlebih dahulu. Penderitaan berasal dari kata derita. Kata derita berasal dari bahasa sansekerta dhra artinya menahan atau menanggung. Derita artinya  menanggung atau merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Penderitaan dapat berupa penderitaan lahir atau batin atau lahir dan batin. Penderitaan termasuk realitas manusia dan dunia. Intensitas penderitaan bertingkat-tingkat, ada yang berat, ada yang ringan. Namun peranan individu juga menentukan berat-tidaknya intensitas penderitaan. Suatu pristiwa  yang dianggap penderitaan oleh seseorang belum tentu merupakan penderitaan bagi orang lain. Dapat pula suatu penderitaan merupakan energi untuk bangkit kembali bagi seseorang, atau sebagai langkah awal untuk mencpai kenikmatan dan kebahagiaan.
Siksaan
Siksaan dapat diartikan sebagai siksaan badan atau jasman, dan dapat juga berupa siksaan jiwa atau rokhani. Akiabt siksaan yang dialami seseorang, timbullah penderitaan. Siksaan yagn sifatnya psikis bisa berupa : kebimbangan, kesepian, ketakutan. Ketakutan yang berlebih-lebihan yang tidak pada tempatnya disebut phobia.banyak sebab yang menjadikan seseorang  merasa ketakutan antara lain : claustrophobia dan agoraphobia, gamang, ketakutan, keakitan, kegagalan. Para ahli ilmu jiwa cenderung berpendapat bahwa phobia adalah suatu gejala dari suatu problema psikologis yang dalam, yang harus ditemukan, dihadapi, dan ditaklukan sebelum phobianya akan hilang. Sebaliknya ahli-ahli yang merawat tingkah laku percaya bahwa suatu phobia adalah problemnya dan tidak perlu menemukan sebab-sebabnya supaya mendapatkan perawatan dan pengobatan. Kebanyakan ahli setuju bahwa tekanan dan ketegangan disebabkan oleh karena si penderita hidup dalam keadaan ketakutan terus menerus, membuat keadaan si penderita sepuluh kali lebih parah.
Kekalutan Mental
Penderitaan batin dalam ilmu psikologi dikenal sebagai kekalutan mental. Secara lebih sederhana kekalutan mental adalah gangguan kejiwaan akibat ketidakmampuan seseorang menghadapi persoalan yang harus diatasi sehingga yang bersangkutan bertingkah laku secara kurang wajar. Gejala permulaan bagi seseorang yang mengalami kekalutan mental adalah :
  1. nampak pada jasmani yang sering merasakan pusing, sesak napas, demam, nyeri pada lambung
  2. nampak pada kejiwaannya dengan rasa cemas, ketakutan, patah hati, apatis, cemburu, mudah marah
Tahap-tahap gangguan kejiwaan adalah :
  1. gangguan kejiwaan nampak pada gejala-gejala kehidupan si penderita bisa jasmana maupun rokhani
  2. usaha mempertahankan diri dengan cara negative
  3. Kekalutan merupakan titik patah (mental breakdown) dan yang bersangkutan mengalam gangguan
Sebab-sebab timbulnya kekalutan mental :
  1. Kepribadian yang lemah akibat kondisi jasmani atau mental yang kurang sempurna
  2. terjadinya konflik sosial budaya
  3. cara pematangan batin yang salah dengan memberikan reaksi yang berlebihan terhadap kehidupan sosial
Proses kekalutan mental yang dialami seseorang mendorongnya kearah positif dan negative. Posotf; trauma jiwa yang dialami dijawab dengan baik sebgai usaha agar tetap survey dalam hidup, misalnya melakukan sholat tahajut, ataupun melakukan kegiatan yang positif setelah kejatuhan dalam hidupnya. Negatif; trauma yang dialami diperlarutkan sehingga yang bersangkutan  mengalami fustasi, yaitu tekanan batin akibat tidak tercapainya apa yang diinginkan. Bentuk fustasi antara lain :
  1. agresi berupa kamarahan yang meluap-luap akibat emosi yang tak terkendali dan secara fisik berakibat mudah terjadi hypertensi atau tindakan sadis yang dapat membahayakan orang sekitarnya
  2. regresi adalah kembali pada pola perilaku yang primitive atau kekanak-kanakan
  3. fiksasi; adalah peletakan pembatasan pada satu pola yang sama (tetap) misalnya dengan membisu
  4. proyeksi; merupakan usaha melemparkan atau memproyeksikan kelemahan dan sikap-sikap sendiri yang negative kepada orang lain
  5. Identifikasi; adalah menyamakan diri dengan seseorang yang sukses dalam imaginasinya
  6. narsisme; adalah self love yang berlebihan sehingga yang bersangkutan merasa dirinya lebih superior dari paa orang lain
  7. autisme; ialah menutup diri secara total dari dunia riil, tidak mau berkomunikasi dengan orang lain, ia puas dengan fantasinya sendiri yagn dapat menjurus ke sifat yang sinting.
Penderitaan kekalutan mental banyak terdapat dalam lingkungan seperti :
  1. kota – kota besar
  2. anak-anak muda usia
  3. wanita
  4. orang yang tidak beragama
  5. orang yang terlalu mengejar materi
Apabila kita kelompokkan secara sederhana berdasarkan sebab-sebab timbulnya penderitaan, maka penderitaan manusia dapat diperinci sebagai berikut :
  1. Penderitaan yang timbul karena perbuatan buruk manusia
  2. Penderitaan yang timbul karena penyakit, siksaan/azab Tuhan
Orang yang mengalami penderitaan mungkin akan memperoleh pengaruh bermacam-macam dan sikap dalam dirinya. Sikap yang timbul dapat berupa sikap positif ataupun sikap negative. Sikap negative misalnya penyesalan karena tidak bahagia, sikap kecewa, putus asa,  atau ingin bunuh diri. Kelanjutan dari sikap negatif ini dapat timbul sikap anti, misalnya anti kawin atau tidak mau kawin, tidak punya gairah hidup, dan sebagainya. Sikap positif yaitu sikap optimis mengatasi penderitaan, bahwa hidup bukan rangkaian penderitaan, melainkan perjuangan membebaskan diri dari penderitaan dan penderitaan itu adalah hanya bagian dari kehidupan. Sikap positif biasanya kreatif, tidak mudah menyerah, bahkan mungkin  timbul sikap keras atau sikap anti. Misalnya sifat anti kawin paksa, ia berjuang menentang kawin paksa, dan lain-lain.

Melawan Kegelisahan


Di dunia ini tidak ada seorang manusia pun yang tidak merasakan kegelisahan. Kalau kita melihat seluruh makhluk yang hidup di muka bumi ini akan kita dapati bahwa manusia dengan tabiatnya senantiasa dipengaruhi oleh kompleksitas ketakutan yang menuntunnya ke ambang kegelisahan.



Orang-orang di sekeliling kita—bahkan dalam diri kita sendiri—, baik besar, kecil, laki-laki maupun perempuan, semuanya merasakan ketakutan atau kegelisahan; kegelisahan merupakan fenomena umum dan ciri khas yang hanya dimiliki manusia. Hal ini kiranya memerlukan semacam kesadaran dari kita guna memikirkan kiat-kiat untuk menghindarinya, paling tidak dengan itu kita bisa membayangkan kejadian-kejadian yang belum terjadi dan bagaimana cara menanggulanginya. Sebab pada hakikatnya kegelisahan merupakan reaksi natural terhadap faktor-faktor dan pengaruh-pengaruh internal maupun eksternal.



Tabiat kehidupan dunia adalah penderitaan, kesedihan dan kesusahan. Kondisi-kondisi yang meliputi manusia tidak pernah ‘kering’ dari kesedihan atas masalah yang telah dilalui, atau kegelisahan atas masalah yang sedang menghantui, atau kecemasan atas masalah yang akan diarungi. Ini sesuai dengan firman Allah SWT:



Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” [QS. al-Balad: 4]



Setiap orang, sesuai dengan kemampuannya masing-masing, berupaya mengekspresikan kegelisahannya sebagai akibat dari pengaruh-pengaruh emosional reaktif yang dikhayalkan akan mengancam kehidupan atau ketenangannya.



Tentu saja kegelisahan yang dialami setiap orang tidaklah sama, tergantung kepribadian, kebutuhan, keadaan, dan tanggung jawab masing-masing. Di samping kondisi masa kini serta tingkat keberagamaan mereka.



Di masa lalu, marabahaya yang ditakutkan berupa kelaparan, penyakit, perbudakan, peperangan dan bencana-bencana alam yang menggiring manusia kepada kegelisahan. Sementara saat ini terdapat banyak sekali motif yang menjadi pemicu ketakutan. Secara garis besar; seiring dengan komplikasi peradaban, cepatnya laju perkembangan teknologi dan sosial, sulitnya untuk beradaptasi dengan pembentukan budaya yang sangat mengejutkan, perubahan-perubahan besar yang terjadi pada alam atau negara-negara atau setiap individu dari kita, perselisihan dalam rumah tangga, sulitnya mewujudkan keinginan-keinginan pribadi karena godaan-godaan dan cobaan-cobaan hidup yang semakin kuat, lemahnya nilai-nilai keagamaan pada sebagian orang—yang mana ini merupakan faktor terpenting dan utama—, lahirnya banyak ideologi dan konflik, benturan pemikiran dan kebudayaan, bahkan enggannya sebagian orang untuk menjalankan ajaran-ajaran agama, munculnya upaya-upaya untuk menjauhkan agama dari kehidupan manusia serta ketidakjelasan tujuan, seiring dengan itu semua, kegelisahan datang menghimpit banyak orang sehingga ia menjadi penyakit jiwa yang umum terjadi dan sekaligus menjadi pemicu bagi timbulnya penyakit-penyakit jiwa lainnya.



Selain itu, bertambahnya tingkat ketergantungan terhadap dunia berikut materi-materinya telah menjadi ancaman terbesar bagi manusia, yang mana dia menjadi sasaran ‘empuk’ ketakutan dan kegelisahan.



Kegelisahan dan ketakutan yang terjadi secara berulang-ulang—seperti ditegaskan oleh banyak peneliti—akan berakumulasi di dalam diri manusia hingga meluap dan efek-efeknya dapat dirasakan oleh tubuh. Sebagaimana endapan lumpur yang terus-menerus mengikuti alur sungai untuk kemudian berakumulasi secara perlahan di dasarnya, dan ketika kuantitasnya melebihi daya tampung alur sungai tersebut, maka ia akan merubah alur sungai yang membawanya itu sehingga terjadilah banjir yang menyebarkan marabahaya dan kerugian.
 



Kegelisahan Merupakan Penyakit yang Paling Sering Terjadi di Dunia!!


Kegelisahan merupakan penyakit jiwa yang paling sering terjadi di masyarakat, bahkan jumlah orang yang rutin melakukan pemeriksaan jiwa dan saraf, serta mereka yang mengalami problem-problem psikologis—terutama kegelisahan—terus bertambah. Hal ini ditegaskan oleh penelitian-penelitian yang dilakukan di Amerika dan Inggris. Badan statistik di Amerika mengungkapkan bahwa 85% orang yang sakit jiwa terkena kegelisahan. Secara umum kegelisahan terjadi pada anak-anak kecil, atau pada masa-masa puber dan awal-awal menginjak dewasa, atau pada orang-orang yang sudah lanjut usia, atau juga pada sebagian besar siswa dan pelajar. Di Inggris, misalnya, ditemukan bahwa jumlah mahasiswa yang terkena kegelisahan mencapai 9%, dan jumlah mahasiswi mencapai 14%. Sedangkan di Saudi Arabia, para peneliti menemukan bahwa jumlah orang yang secara rutin melakukan pemeriksaan kajiwaan karena kegelisahan mencapai 14.8%, ini selain mereka yang memang enggan mendatangi para psikiater untuk konsultasi. Di antara mereka bahkan ada yang berusaha menutup-nutupi kegelisahan yang dideritanya dengan penyakit-penyakit lain yang kadang-kadang kambuh meskipun sudah diobati, seperti luka pada lambung, usus besar (kolon), sembelit, bertambahnya asam, serangan jantung, tekanan darah tinggi, asma, TBC paru-paru, radang rongga, migrain (sakit kepada separuh), deman, nyeri otot, kemandulan, kelainan seksual dan seterusnya. Banyak orang yang terlihat merintih karena penyakit-penyakit seperti itu, padahal sebenarnya mereka merintih karena jiwanya yang berduka atau tidak stabil.



Kegelisahan tidak lain adalah reaksi natural psikologis dan phisiologis akibat ketegangan saraf dan kondisi-kondisi kritis atau tidak menyenangkan. Pada masing-masing orang terdapat reaksi yang berbeda dengan yang lain, tergantung faktor-faktornya, dan itu wajar. Adapun bahwa manusia selalu merasa gelisah hingga membuatnya mengeluarkan keringat dingin, jantungnya berdetak sangat kencang, tekanan darahnya naik pada kondisi apa pun; maka ini sebenarnya sudah melewati batas rasional.



Sebenarnya terdapat “kegelisahan” yang dibutuhkan untuk menumbuhkan semangat dalam menghadapi tantangan, untuk menjaga keseimbangan dinamika internal atau untuk meneguhkan diri, bahkan untuk menggapai ketenangan jiwa—yang merupakan tujuan setiap manusia—dan untuk meraih kesuksesan dalam mengarungi kehidupan. Inilah yang disebut dengan “kegelisahan positif” (al-qalq al-îjâbîy); seperti kegelisahan seorang siswa sebelum ujian sehingga memotivasinya untuk belajar, kegelisahan seorang ibu akan anaknya yang masih kecil sehingga mendorongnya untuk menjaganya dari marabahaya, juga kegelisahan seorang muslim dan kekuatirannya akan tumbuhnya kemalasan beribadah dalam dirinya sehingga mendorongnya untuk selalu taat, beristighfar dan bertaubat.



Sedangkan “kegelisahan negatif” (al-qalq as-salabîy) adalah kegelisahan yang berlebih-lebihan, atau yang melewati batas, yaitu kegelisahan yang berhenti pada titik merasakan kelemahan, di mana orang yang mengalaminya sama sekali tidak bisa melakukan perubahan positif atau langkah-langkah konkret untuk berubah atau mencapai tujuan yang diinginkan, yaitu kegelisahan dalam ‘menanti-nanti’ sesuatu yang tidak jelas atau tidak ada. Tentu saja hal ini merupakan ancaman bagi eksistensi manusia sebagai kesatuan yang integral.



“Kegelisahan positif” merupakan dasar kehidupan atau sebagai kesadaran yang dapat menjadi spirit dalam memecahkan banyak permasalahan, atau sebagai tanda peringatan, kehati-hatian dan kewaspadaan terhadap bahaya-bahaya atau hal-hal yang datang secara tiba-tiba dan tak terduga. Ia juga merupakan kekuatan dalam menghadapi kondisi-kondisi baru dan dapat membantu dalam beradaptasi. Singkatnya, ia merupakan faktor penting yang dibutuhkan manusia. Sedangkan “kegelisahan negatif” jelas sangat membahayakan, seperti gula pada darah; ketika ketinggian kadarnya membahayakan kesehatan manusia.



Seorang muslim dituntut untuk selalu menjaga keseimbangan dalam hidupnya, sebab dia sedang hidup dalam suasana yang sarat dengan kesusahan, penderitaan, peperangan, hal-hal yang tidak terduga dan mengejutkan. “Kegelisahan negatif” akan mendorong seseorang, melalui hubungan timbal balik dengan lingkungan dan masyarakatnya, kepada penurunan tingkat produktivitas dan ketidakharmonisan dengan masyarakatnya tersebut, yang karena itu akan membawa dampak yang tidak diinginkan bagi kesehatannya; ia merupakan faktor yang dapat meruntuhkan kepribadian, produktivitas dan keharmonisan interaksi sosial.



Kita memang tidak mungkin dapat menghentikan terjadinya segala peristiwa. Kesedihan, kegelisahan, ketakutan dan perasaan-perasaan lainnya tidak bisa dienyahkan dari kehidupan manusia. Suatu hal yang mungkin bisa kita lakukan adalah merubah bentuk-bentuk dan pengertian-pengertiannya, kemudian mencernanya dan merubahnya dari yang semula negatif menjadi positif. Manusialah yang membuat pengertian-pengertiannya dan dia jualah yang selanjutnya memberikan gambaran yang dikehendaki.



Buku yang ada di tangan Anda ini—pembaca yang budiman—merupakan petunjuk teknis dengan gaya bahasa yang ilmiah dan mudah untuk mengenal lebih jauh tentang kegelisahan dan cara menanggulangi kegelisahan negatif.



Dalam buku ini Anda akan mengetahui definisi kegelisahan secara ilmiah, berikut macam-macamnya, tingkatan-tingkatannya, faktor-faktornya, pengaruh-pengaruhnya terhadap kesehatan dan sosial, sebagaimana juga membahas tentang cara menghindarinya, atau sarana-sarana dan langkah-langkah untuk melawan kegelisahan negatif, disertai fakta-fakta yang menunjukkan keberadaan kegelisahan dalam masyarakat. Kemudian di akhir pembahasan Anda akan menemukan suplemen tentang cara-cara menghindari kondisi kegelisahan karena ujian kelulusan bagi para pelajar, juga tentang rileksasi (pengenduran otot) berikut faedah-faedah, cara dan sarana untuk melatihnya, yang juga disertai azimat berdasar petunjuk agama.



Tetapi hal yang perlu ditekankan di sini, pembaca budiman, seharusnya Anda meneguhkan kehendak Anda dengan ditopang oleh keimanan kepada Allah SWT guna melakukan perubahan yang efektif dan berprilaku positif. Pengetahuan memang bisa dianggap separuh pengobatan atau langkah penting menuju kesembuhan, namun ia akan menjadi tidak berarti sama sekali tanpa diikuti oleh prilaku dan perubahan positif sesuai dengan dasar-dasar prosedur yang legal dan benar. Pengetahuan dan prilaku adalah dua hal yang saling melengkapi.



Seorang pujangga berkata:



Dan aku tidak melihat setelah kekuatan Allah Ta’ala seperti kekuatan anak Adam bila berkehendak


Bahkan yang lain berkata:

Dan aku tidak melihat pada manusia sebuah aib seperti kurangnya orang-orang yang mampu untuk [melakukan sesuatu dengan] sempurna


Ya, orang yang menginginkan kebahagiaan akan bahagia, dan orang yang menginginkan kesembuhan akan sembuh, dan semua itu atas kehendak Allah SWT. Dia berfirman:

                                  

Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” [QS. Thâhâ: 123]



Dan [demi] jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu [jalan] kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” [QS. asy-Syams: 7 – 10]


Adapun orang yang memberikan [hartanya di jalan Allah] dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka Kami kelak akan menyiapkan baginya [jalan] yang sukar.” [QS. al-Lail: 5 – 10]
Sumber
http://angga-wibowo.abatasa.com/post/detail/11291/50-langkah-cara-mengatasi-gelisah-ketegangan-dan-tekanan-jiwa.html

Melawan Penderitaan

Akhir-akhir ini pemberitaan media tentang darurat militer di Aceh mulai surut. Headline media massa sudah sangat jarang diwarnai informasi perkembangan operasi darurat militer di Aceh. Tampaknya isu Aceh tidak lagi semenarik seperti sembilan bulan lalu, ketika ribuan tentara gencar menelusuri Aceh untuk mencari anggota GAM, yang berbuntut terjadi pertempuran dimana-mana, korban berjatuhan, ribuan penduduk mengungsi, serta ratusan gedung sekolah dibakar. TNI sendiri sampai dengan awal November 2003 mengklaim telah berhasil melumpuhkan 2.081 anggota GAM, 982di antaranya tewas.

Di lain kasus, pengekangan dan pembatasan ruang gerak media massa masih berlangsung. Sejumlah peraturan terhadap wartawan yang meliput di Aceh masih diberlakukan. Dan, dimanapun tempatnya, ketika pers tidak mendapatkan keleluasaan melakukan kerja jurnalistik, sementara wartawan dihantui teror, maka disitu banyak kejadian yang terpendam, informasi yang diputarbalikkan. Akibatnya, kebenaran tidak dapat terungkap. Penderitaan rakyat terpendam oleh informasi-informasi resmi yang dikeluarkan penguasa atau militer tentang keberhasilan operasi.

Sampai di sini sempurna sudah Aceh sebagai cerita rakyat Indonesia yang bergelut dengan pemberontakan dan derita panjang operasi militer, justeru ketika Indonesia telah merdeka. Penderitaan itu tampaknya akan terus berlanjut karena enam bulan pemberlakukan Darurat Militer dirasakan belum cukup oleh pemerintah. Melalui rapat kabinet, 6 November 2003, pemerintah resmi memutuskan memperpanjang status Darurat Militer di Aceh sampai enam bulan lagi.

Di semangati “perlawanan” terhadap penderitaan rakyat Aceh itulah buku humor ini terbit. Tri Agus S. Siswowiharjo, akrab dipanggil Tass, sebagai editornya mengaku keberadaan buku semacam ini penting sebagai upaya menuntut penghentian kekerasan di Aceh disaat pers dibungkam serta upaya-upaya lain yang telah dilakukan tidak mendapat hasil memuaskan. Niat yang tentu saja harus diapresiasi.

Kenapa humor menjadi pilihan? Karena, ia diyakini dapat mewakili realitas Aceh secara lebih terbuka, dengan kata yang singkat, sederhana, mudah dicerna, serta tentu saja lucu namun tidak menghilangkan keseriusannya. Ditambah lagi, seperti kata mantan redaksi majalah humor, Darminto M Sudarmo, ketika menjadi pembicara dalam peluncuran buku ini, humor saat ini tidak lagi diartikan eskapistik (bernilai pelarian) melainkan kritik sosial. Penguasa dapat saja melarang wartawan meliput, mencegah LSM bekerja di Aceh, dan meneror rakyat Aceh yang berani “berbicara”, tetapi penguasa tidak dapat melarang humor. Humor menjadi bahasa yang lebih utuh menggambarkan realitas. Yang tersembunyi atau disembunyikan bisa diungkap oleh humor tanpa harus berisiko ada penangkapan atau teror. Maka, ketika humor itu berhasil dikumpulkan dari cerita-cerita penderitaan, ia akan begitu jelas bermakna kritik sosial, perlawanan, serta pengharapan.

Geer Aceh Merdeka (GAM) atawa Mati Ketawa Cara Aceh merupakan buku kumpulan humor yang dipungut dari orang Aceh yang tinggal di Aceh maupun di luar Aceh. Sebagian juga diambil dari berbagai diskusi tentang Aceh serta pengalaman sejumlah wartawan yang pernah meliput di Aceh selama pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) dan Darurat Militer.

Tri Agus membagi buku ini dalam tiga bagian. Bagian pertama yang diberi judul “Aceh Dot: Kisah Polem dan Maneh” lebih banyak menyajikan humor-humor tentang kehidupan sehari-hari rakyat Aceh. Di sini kita akan menemukan banyak humor yang tidak langsung berhubungan dengan operasi militer. Polem dan Maneh menjadi pemeran utamanya. Ada humor tentang ketidakberdayaan dan “kegilaan” orang Aceh, contoh: “Polem selalu merasa tidak nyaman kalau harus datang ke pernikahan keluarga. Biasanya, saudaranya akan datang sambil menepuk-nepuk pundak, “Kamu berikutnya kan?” kata mereka. Kebiasaan ini berhenti setelah Polem melakukan hal yang sama pada mereka di setiap acara pemakaman keluarga.”

Bagian kedua berisikan humor-humor tentang wartawan di Aceh. “Aceh Tapi Nyata: Embedded Journalist Embelgedes” yang menjadi judul besarnya menyiratkan berbagai realitas kehidupan di Aceh yang berhubungan dengan wartawan. Dalam bab inilah kita akan mendapati fakta yang hadir lewat humor. Fakta tentang bagaimana wartawan diperlakukan dan meliput di Aceh. Juga fakta tentang derita rakyat Aceh yang “tidak kuasa” ditulis menjadi berita, tapi hanya bisa diungkap dengan humor.

Sementara, humor-humor yang bercerita tentang GAM dan TNI serta operasi darurat militer banyak dijumpai di bab terakhir. Salah satu humor yang menarik berjudul Dilarang ngomong GAM: “Beberapa Kepala Sekolah SD dan SMP yang gedungnya dibakar orang tak dikenal diganti anggota TNI/Polri. Di sebuah SD pinggiran Banda Aceh Kepala Sekolah baru melarang penggunaan istilah GAM. Seorang murid yang simpati terhadap GAM pada pelajaran Bahasa Indonesia mendapat giliran membuat kalimat. Beginilah kalimatnya. “Sangatlah GAMpang membuat GAMbar dengan GAMping sambil mendengarkan irama GAMbus di stasiun GAMbir. Tapi, tiba-tiba datang seorang berseraGAM dan berpiaGAM TNI. Aduh! Saya diGAMpar!”

Editor yang bukan orang Aceh dan bukan pula korban operasi militer memang dapat dianggap sebagai kekurangan dari buku ini. Karena, bisa dibayangkan bila editor adalah korban maka humor-humor yang dikumpulkan akan lebih dalam mengungkap Aceh serta lebih kental nilai perlawanannya. Dengan begitu sempurna sudah buku humor semacam ini dijadikan sebagai pemberontakan terhadap penindasan rakyat Aceh. Namun, harus diakui, kemampuan editor untuk mengumpulkan humor dari berbagai sumber dengan beragam tema telah mampu menutupi kekurangan tersebut.

Pada akhirnya, kesempurnaan buku ini juga akan ditentukan oleh kemampuan pembaca meresapi penderitaan rakyat Aceh. Sebab, jika penderitaan itu gagal diresapi, maka pembaca hanya akan menemukan sekumpulan humor pemuas nafsu tertawa, tidak lebih.(Samsuri)

Sumber
http://samsuri.blogspot.com/2009/01/melawan-penderitaan-dengan-humor.html

Seni dan kebudayaan Betawi


Seni dan kebudayaan

Budaya Betawi merupakan budaya mestizo, atau sebuah campuran budaya dari beragam etnis. Sejak zaman Hindia Belanda, Batavia (kini Jakarta) merupakan ibu kota Hindia Belanda yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara. Suku-suku yang mendiami Jakarta antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.
Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.

Bahasa

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.
Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar Batavia juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik[2] yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dialek Betawi sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah "a". Dialek Betawi pusat atau tengah seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan di Meester (Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke Selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan hingga Jawa Barat. Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin S., Ida Royani dan Aminah Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan Kramat Sentiong. Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh paling jelas adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi tengah jelas menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir bernada "a" keras mati seperti "ain" mati dalam cara baca mengaji Al Quran.

Musik

Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong. Betawi juga memiliki lagu tradisional seperti "Kicir-kicir".

Tari

Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda, Cokek dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.

Drama

Drama tradisional Betawi antara lain Lenong dan Tonil. Pementasan lakon tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi langsung dengan penonton.

Cerita rakyat

Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau si jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial. creita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.

Senjata tradisional

Senjata khas Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan terbuat dari kayu.

Kepercayaan

Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.

Profesi

Di Jakarta, orang Betawi sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.
Kampung yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.
Warga Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu program Ganefo yang dicetuskan oleh Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang ini. Karena asal-muasal bentukan etnis mereka adalah multikultur (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang bentukan etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.

Perilaku dan sifat

Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo yang menjadi Gubernur Jakarta saat ini .
Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang beragama Islam), kepada anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat Betawi dan pendatang dari luar Jakarta.
Orang Betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri (baca : Jakarta). Namun tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi generasi mendatang yang justru akan menopang modernisasi tersebut.
Sumber
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Betawi

KEPRIBADIAN ISLAM



Bila kita cermati terdapat dua fenomena yang secsra fisik nampak pada diri manusia.  Pertama, adalah fenomena performance (penampilan fisik) manusia, seperti bentuk tubuh, wajah dan pakaian.  Kedua adalah fenomena yang berupa perbuatan manusia.  Dari dua fenomena tersebut, orang kadang salah menilai tentang kepribadian seseorang.  Banyak yang beranggapan bahwa performance adalah bentuk dari kepribadian seseorang, yaitu bagaimana postur tubuhnya, cara berjalan, cara berpakaian, pilihan konsumsi makanan dan minuman, status social dsb.  Anggapan ini tidak terlepas dari pengaruh nilai-nilai barat tentang konsep kepribadian.
Lambat laun nilai-nilai tersebut semakin mempengaruhi persepsi kaum muslimin dalam memandang kemuliaan dan kerendahan nilai kepribadian pada diri seseorang maupun masyarakat.  Seseorang yang berpakaian ala barat, santun dalam berkata, rapi, disiplin, pemaaf, tepat waktu, dikatakan berkepribadian baik, menarik dan mulia.  Meskipun ia biasa mengkonsumsi minuman keras, hidup tanpa ikatan pernikahan, memakan uang riba, dll.  Contoh-contoh lain dapat dengan mudah kita temukan di tengah-tengah masyarakat.  Persepsi ini diperparah dengan menjamurnya sekolah-sekolah kepribadian yang mengajarkan kepribadian baik dan mulia sesuai nilai baik dan mulia standar barat.

Hakikat Kepribadian
Bila kita cermati realita di atas, tentu hal tersebut merupakan persepsi yang keliru.  Sebab yang menentukan tinggi rendahnya kepribadian seseorang bukan dari nilai-nilai fisik seseorang (cantik/tidak, kaya/miskin dsb) ataupun dari asal daerah dan sukunya (jawa, batak, sunda dll) Sebagaimana sabda Rasullulah SAW : “Sesungguhnya Allah tidak menilai atas rupamu serta harta kekayaanmu, akan tetapi dia hanya menilai hati dan amal perbuatanmu(HR. Muslim dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
Kepribadian sebenarnya perwujudan dari pola pikir (yakni bagaimana ia bersikap dan berfikir) dan pola tingkah laku (bagaimana ia bertingkah laku) dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pola pikir seseorang ditunjukkan dengan sikap, pandangan atau pemikiran yang ada pada dirinya dalam menyikapi atau menanggapi berbagai pandangan dan pemikiran tertentu.  Pola pikir pada diri seseorang tentu sangat ditentukan oleh ‘nilai paling dasar’ atau ideologi yang diyakininya.  Dari pola pikir inilah diketahui bagaimana sikap, pandangan atau pemikiran yang dimiliki oleh seseorang.
Sedangkan pola tingkah laku, adalah perbuatan-perbuatan nyata yang dilakukan seseorang dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Pola tingkah laku pada diri seseorang pun sangat ditentukan oleh ‘nilai paling dasar’ atau ideologi yang diyakininya.  Seseorang akan makan dan minum apa saja dalam memenuhi kebutuhan jasmaninya bila ideologi yang diyakininya membolehkan hal tersebut.  Seseorang akan memenuhi naluri seksualnya dengan cara apa saja bila ideologi yang diyakininya membolehkan hal tersebut.  Begitu juga sebaliknya bila ideologi yang diyakininya melarangnya.
Walhasil, pola sikap dan pola tingkah laku inilah yang menentukan corak kepribadian seseorang.  Dan karena pola sikap dan pola tingkah laku ini sangat ditentukan oleh nilai dasar/ideology yang diyakininya, maka corak kepribadian seseorang sangat bergantung pada ideology/aqidah yang dianutnya.  Ideologi kapitalisme akan membentuk masyarakat berkepribadian kapitalisme-liberal. Ideologi sosialisme akan membentuk kepribadian sosialis/komunis.  Sedangkan ideology Islam seharusnya menjadikan kaum muslimin yang memeluk dan meyakininya memiliki kepribadian Islam.
Kepribadian Islam (Syaksiah Islamiyah)
Merujuk pada penjelasan di atas, maka pada hakekatnya kepribadian Islam merupakan perwujudan pola pikir islami (Aqliyah Islamiyah)  dan pola tingkah laku islami ( Nafsiyah Islamiyah).  Aqliyah Islamiyah hanya akan terbentuk dan menjadi kuat pada diri seseorang bila ia memiliki keyakinan yang benar dan kokoh terhadap Aqidah Islamiyah dan ia memiliki ilmu-ilmu keislaman yang cukup untuk bersikap terhadap berbagai ide, pandangan, konsep dan pemikiran yang ada di masyarakat yang rusak, kemudian pandangan dan konsep tersebut distandarisasi dengan ilmu dan nilai-nilai islami.  Untuk memperoleh Aqliyah islamiyah yang kuat, hanya bias diraih dengan cara menambah khasanah ilmu-ilmu islam (tsaqofah islamiyah), sebagaimana dorongan islam bagi umatnya untuk terus menerus menuntut ilmu kapanpun dan dimanapun.  Allah SWT mengajarkan kepada kita : Katakanlah “Ya Tuhanku tambahkanlah ilmu kepadaku(QS. Thaha : 114)

Sedangkan Nafsiyah Islamiyah hanya akan terbentuk dan kuat bila seseorang menjadikan aturan-aturan islam sebagai cara memenuhi kebutuhan biologisnya (makan, minum, berpakaian dll) Nafsiyah islamiyah dapat ditingkatkan dengan selalu melatih diri untuk berbuat taat, terikat dengan aturan islam dalam segala hal dan melaksanakan amalan-amalan ibadah , baik yang wajib maupun yang sunah serta membiasakan diri untuk meninggalkan yang makruh dan subhat apalagi haram.  Islampun mengajarkan agar kita senantiasa berahlak mulia, bersikap wara’ dan qanaah agar mampu menghilangkan kecenderungan yang buruk dan bertentangan dengan islam.
Dalam sebuah hadis qudsi Allah SWT berfirman : “ …dan tidaklah bertaqarrub atau beramal seorang hamba-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai seperti bila ia melakukan amalan fardu yang aku perintahkan atasnya, kemudian hamba-Ku senantiasa bertaqarrub kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga aku mencintainya(HR Bukhari dari Abu Hurairah)
Dengan cara inilah Syakhsiyah Islamiyah seseorang akan semakin meningkat terus, pemikiran islamnya semakin cemerlang, jiwa islamnya semakin mantab dan istiqomah serta menjadi orang yang semakin dekat dengan Allah dan dimuliakan oleh Allah.
Sumber
http://voiceofmuslimahbekasi.wordpress.com/2009/05/15/kepribadian-islam-syaksiyah-islamiyah/

KEUTAMAAN MANUSIA DENGAN ILMU

Setelah Alloh ta’ala menciptakan Adam ‘alaihis salam kemudian Alloh ajarkan kepada Nabi Adam ‘alaihis salam nama-nama segala sesuatu yang ada di alam, sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an :
وَعَلَّمَ آدَمَ الأَسْمَاء كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَاء هَـؤُلاء
إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama ( benda-benda ) seluruh- nya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman : “Se butkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar !” ( Qs. Al-Baqoroh : 31 )
Diajarkannya kepada Adam nama-nama segala sesuatu karena memang pe-ngenalan terhadap nama merupakan dasar dari segala macam ilmu pengeta- huan. Dalam dunia pendidikan klasik maupun modern, setiap mengawali proses pendidikan mesti dimulai dengan mengenalkan nama-nama benda. Dengan demikian akan memungkinkan bagi mereka untuk menguasai perka ra-perkara lainnya yang berkaitan dengan semua benda-benda tersebut. Kare na fungsi dari suatu benda pasti terkait dengan beragam benda yang lainnya. Tidak akan sempurna suatu pekerjaan yang tidak disertai dengan pengenalan dengan nama-nama benda yang berkaitan dengan pekerjaannya.
Begitu juga Adam ‘alaihis salam, beliau diajarkan nama segala sesuatu yang berkaitan dengan tugas kekholifahannya di bumi. Sebagaimana disebut-kan dalam hadits yang panjang tentang syafa’at, di mana pada hari qiyamat ketika manusia berkumpul di mahsyar, mereka mendatangi Nabi Adam ‘alai- his salam dan berkata :
أَنْتَ أَبُو النَّاسِ خَلَقَكَ اللهُ بِيَدِهِ وَ أَسْجَدَ لَكَ مَلاَئِكَتَهُ وَ عَلَّمَكَ أَسْمَاءَ كُلِّ شَيْءٍ
“Engkau adalah Bapak manusia yang Alloh telah menciptakanmu dengan ta-ngan-Nya, telah menjadikan para malaikat-Nya sujud menghormat kepada- mu, dan telah mengajarkanmu segala sesuatu, ….”
( HR. Al-Bukhori dan Muslim )
Berkata Adh-Dhohhak dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhuma : “Yaitu nama-nama yang manusia perlu mengenalnya, yaitu : manusia, binatang, langit, bu-mi, lembah, laut, unta, keledai, dan sejenisnya dari umat-umat atau lainnya.”
Berkata Mujahid : “Yaitu Dia mengajarinya nama seluruh hewan, burung, dan segala sesuatu.”
Demikian pula tafsir dari sebagian besar para ‘ulama salaf.
Para Malaikat kemudian ditantang untuk menyebutkan semua nama-nama benda yang telah diajarkan kepada Adam ‘alaihis salam, namun mereka tidak mampu dan berkata :
سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
“Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Menge- tahui lagi Maha Bijaksana.” ( Qs. Al-Baqoroh : 32 )
Jawaban para malaikat ini adalah pengakuan akan kelebihan Adam ‘alaihis sa- lam atas atas mereka dalam hal ilmu. Hal ini karena Alloh ta’ala telah menga-jari Adam ‘alaihis salam ilmu yang belum diketahui oleh para malaikat. Dan hal ini sekaligus menunjukkan bahwa sumber dari segala ilmu adalah Alloh. Seseorang hanya bisa mendapatkan suatu ilmu melalui proses belajar, seba-gaimana firman Alloh ta’ala :
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
“Ketahuilah dengan ilmu bahwasannya tidak ada yang berhak disembah ke-cuali Alloh …” ( Qs. Muhammad : 19 )
Berkata Imam Al-Bukhori : “Ilmu hanyalah di dapat dengan belajar.”
Sehingga mengharapkan ilmu dengan tanpa belajar, sebagaimana banyak di-yakini oleh kaum Shufi sebagai ilmu laduni adalah tindakan bodoh.
Jawaban para malaikat tersebut juga sebagai penegasan bahwa ilmu yang digali semata-mata dengan akal - tanpa bimbingan wahyu Ilahi – hanya akan melahirkan kesesatan atau kehancuran. Berkata Imam Asy-Syafi’i rohi-mahulloh dalam bait sya’irnya :
Setiap ilmu selain Al-Qur’an adalah melalaikan,
kecuali Hadits dan Fiqh dalam agama,
ilmu yaitu yang ada padanya perkataan “ telah bercerita kepada kami ”,
sedangkan apa yang selain itu adalah bisikan syetan.
Adam ‘alaihis salam dijadikan lebih unggul dari para malaikat karena ilmunya melebihi dari ilmu yang dimiliki para malaikat. Padahal para malai-kat adalah makhluk yang paling getol beribadah. Hal ini dikarenakan ahli il-mu ( ‘ulama’ ) lebih utama daripada ahli ‘ibadah ( ‘ubada’ ), sebagaimana sab da Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam :
فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ
“Keutamaan ahli ilmu atas ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan pada malam purnama atas sekalian bintang di langit.”
( HHR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ad-Darimi )
Oleh karena itu Alloh ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an :
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Alloh mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengangkat orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat ( di atas orang mu’min yang tidak berilmu ).” ( Qs. Al-Mujadalah : 11 )
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَ يَضَعُ بِهِ آخَرُوْنَ
“Sesungguhnya Alloh mengangkat derajat beberapa kaum dengan Kitab Al-Qur’an ini dan merendahkan yang lainnya dengannya pula.” ( HR. Muslim )
Berkata Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhuma : “Para ahli ilmu ( ‘ulama’ ) memili-ki 700 derajat di atas orang mu’min biasa, selisih antara dua derajat adalah perjalanan 500 tahun.”
Kemudian Alloh buktikan keunggulan Adam ‘alaihis salam atas para malaikat dengan firman-Nya :
قَالَ يَا آدَمُ أَنبِئْهُم بِأَسْمَآئِهِمْ فَلَمَّا أَنبَأَهُمْ بِأَسْمَآئِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُل لَّكُمْ إِنّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنتُمْ تَكْتُمُونَ
“Alloh berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.” Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama ben- da itu, Alloh berfirman: “Bukankah sudah Aku katakan kepadamu, bahwa se sungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan ?”
( Qs. Al-Bqoroh : 33 )
Dengan demikian Adam ‘alaihis salam dengan kelebihan ilmunya lebih ber-hak menjadi kholifah di muka bumi daripada para malaikat.
Ada pun perkataan “apa yang kamu sembunyikan” dalam ayat di atas adalah berkenaan dengan Iblis. Berkata Imam Asy-Syanqithi rohimahulloh : “Dan firman Alloh ta’ala “apa yang kamu sembunyikan” tidak dijelaskan di sini tentang apa yang mereka sembunyikan. Sebagian para ‘ulama berkata : “Yai-tu apa yang disembunyikan Iblis yang berupa kesombongan”, dan pendapat ini dijelaskan dalam firman Alloh ta’ala : “kecuali Iblis, dia enggan dan sombong”.
Hal ini karena Iblis ketika itu tinggal bersama para malaikat di langit. Seba-gian Ahli Tafsir menyebutkan bahwa Iblis bisa diangkat ke langit bersama para malaikat karena kesholehannya. Namun sifat sombong dan keangku-hannya yang membawa Iblis menjadi divonis kafir.
Demikian, setelah pembuktian ilmu yang ada pada Adam ‘alaihis sa-lam kemudian Alloh memerintahkan penghuni langit untuk sujud menghor-mat kepada Nabi Adam ‘alaihis salam.
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُواْ لآدَمَ فَسَجَدُواْ إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
“Dan ( ingatlah ) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah ka- mu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan som-bong dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”
( Qs. Al-Baqoroh : 34 )
[ ‘Abdulloh A. Darwanto ]

Sumber
http://dakwah.net46.net/?p=113